Selasa, 12 April 2011

‘Sumpah Serapah’ ala Somalia


CITIZEN JOURNALISM: SIAPA SAJA, MENULIS APA SAJA
Syu - Netherland

Terima kasih Tuhan, telah menciptakan kami dalam aneka ragam budaya. Mencontek lagunya Daniel Sahuleka dengan syair yang sedikit diubah, "You make our life so colourful like never....Thank you for all the love You gave to us..”.
Subhanallah! Alhamdulillah!
Segala bentuk puji syukur keluar dari mulut perempuan muda itu ketika aku membawa oleh-oleh khusus dari Indonesia, mukenah. Bukan main banggaku mendengar pengakuannya bahwa ‘inovasi penting’ tersebut hanya dikenalnya dari Indonesia. Terlebih lagi ketika mengetahui bahwa kain dan pakaian made in Indonesia amat dicari di Somalia karena kualitas warnanya yang bagus dan tidak mudah luntur.
Memang aku pernah meminjam perlengkapan sholat temanku ini, berupa dua lembar kain panjang. Kain diikat dipinggang sebagai sarung dan, untuk bagian atas tubuh, kain hanya dibelit-belitkan sedemikian rupa. Bahkan, baju tradisional mereka ada yang hanya terdiri dari sehelai kain panjang yang dinamakan guntino yang dibelitkan menutupi seluruh badan. Guntino dilengkapi dengan shash atau tutup kepala plus garbasar, sejenis tudung kepala. Nah, lengkaplah dandanan tradisional perempuan Somalia. Subec il, begitulah sebutannya. Lekuk-lekuk tubuh adalah ‘cantolannya’.
Tuhan mengaruniai perempuan-perempuan ini dengan kontur raga elok. Coba bandingkan dengan diriku yang mirip huruf “i” kecil. Belum bergerak menunaikan ibadah sholat, seluruh kain sudah melorot ke bawah. Dan rupanya tubuh subur adalah standar kecantikan wanita Somalia. Kabarnya, para perempuan muda yang menurut ukuran sana masih ‘tipis-tipis’, kerap menyumpal bokong mereka supaya terlihat berisi dan indah agar cepat dipinang laki-laki idaman.
Rekan dekatku, si perempuan Somalia, sudah lama kukenal karena kami belajar bahasa Belanda di sekolah yang sama. Kian hari kian dekat karena kebetulan sama-sama aktif di organisasi setempat. Saking dekatnya, tidak jarang kami ‘menangis’ bersama. Maklum kami doyan sekali sambal super pedas yang mengakibatkan berurainya air mata. Dari cabai rawit hijau, cabai rawit oranye, sampai cabai montok yang konon berasal dari Afrika dan tidak boleh pecah saat dimasak saking pedasnya, semua sudah kami coba. Yang terakhir, mesti secubit secubit makannya, sebab aromanya saja sudah hampir membuat kita sakit perut.
Perkara makanan, kami sering nelongso. Di Somalia, pisang dan nenas mudah diperoleh dan bisa ‘diganyang’ kapan saja. Anak rekanku yang terbiasa ‘menguasai’ satu buah nenas untuk dirinya sendiri, mesti cukup puas dengan potongan-potongan kecil nenas sebagai makanan penutup. Lebih unik lagi, pisang di tempat asal mereka dimakan bersama dengan nasi atau roti. Jadi tangan kanan menyuap nasi atau melahap roti, sementara tangan kiri memegang pisang manis yang biasa dimakan mentah. Kebiasaan ini hampir tidak pernah dilakukannya lagi di Belanda. Jengah dengan tatapan orang yang seolah meragukan kewarasannya.

Perkara daging lebih parah lagi. Kalau aku sering ‘memimpikan’ dendeng, sejawatku ini merindukan otka ataukalankal, yakni potongan panjang daging (lazimnya daging unta atau kambing) yang dijemur, dipotong kecil-kecil, dan digoreng. Otka bisa tahan lama layaknya dendeng. Jangankan daging unta ‘halal’, yang ‘haram’ saja nihil, begitu mungkin pikirnya.

Sama halnya dengan daging unta, susu unta pun sangat populer di negara mereka. Susu unta biasa diminum mentah. Adapun susu sapi dan teh sering dimasak bersama hel atau kardemom dan khorfe (bubuk kayu manis). Gaxwo (baca: Gakho) atau kopi ala Somalia terdiri dari campuran sanjowil atau jahe, kayu manis, dan biji kopi. Ramuan seperti ini tentu saja tidak mudah ditemukan di Eropa.
Yang menarik lagi, nasi Somalia berbeda dengan nasi bagi orang Belanda maupun Indonesia. Orang Belanda menyebut nasi goreng ala resto Cina sebagai ‘nasi’. Jadi kalau pesan ‘nasi’, sudah pasti yang dikasih nasi goreng. Witte rijst adalah sebutan untuk nasi putih.
Nasi Somalia terdiri dari tumisan bawang bombay, bawang putih, jintan, kardemom, kaldu, lada, bubuk kari, dan rempah lain sesuai selera. Berasnya berbentuk panjang dan ramping yang ditumis bersama bumbu-bumbu tersebut sebelum direbus dengan air mendidih hingga matang. Aku pernah merasa aneh kala melihat mereka melahap nasi dengan lauk tumisan daging penuh rempah plus selada dengan saus yoghurt. Bagiku saus yoghurt dan nasi berempah bukan pasangan serasi, tetapi setelah kucicipi sendiri, ternyata… Lezat juga!
Keunikan-keunikan seperti ini membuat salah kaprah gampang terjadi. Bila kita pesan ‘es’ di Belanda, yang dimaksud pasti es krim. Di Indonesia, pernah suamiku dengan pe-de-nya berucap “Ice, please” pada pelayan. Beberapa saat kemudian semangkok penuh balok-balok es batu hadir di meja kami. Aku terbahak, suamiku tercengang-cengang.
Kekontrasan tertentu makin membuat keragaman budaya kian menarik. Perempuan Somalia cenderung berbusana muslimah yang terkesan ‘terkekang’ di mata orang-orang Belanda. Perempuan Belanda menganggap dirinya jelas lebih bebas dan bergaya sangat mandiri. Pada event tertentu, organisasi kami kerap mengakhiri acara dengan musik dan nyanyi. Siapapun bebas unjuk gaya dan kebolehan. Lucunya, justru perempuan Belanda mengikuti ritme musik secara ‘monoton’, kalau tidak mau dibilang mati gaya. Sementara perempuan Somalia berdansa dan menari seolah-olah musik itu sudah bagian dari dirinya sendiri. Sangat antusias dan lebih kreatif.
Yang namanya improvisasi musik dan lagu, perempuan Somalia bisa sangat mengagetkan. Piknik multibudaya yang kami lakukan setahun sekali biasanya berlokasi di tepi pantai. Layaknya acara rekreasi, berenang, makan-makan, mengobrol, dan menikmati musik atau menari bersama-sama sudah menjadi sesuatu yang lumrah.
Kenalanku lainnya, seorang gadis Somalia, terkenal suka menyayi dan menari. Ia sering tampil pada acara pernikahan orang Somalia maupun pesta-pesta adat sejenisnya. Iringan tepuk tangan saja sudah bisa membuatnya bergoyang dan melantunkan tembang. Apalagi diiringi djembe (alat musik Afrika yang dipukul dengan tangan) seperti yang kami lakukan kala itu. Kata-kata bernada dikarangnya sendiri sesuai peristiwa yang terjadi. Kisah tentang perkenalan awal sepasang pengantin atau pujian terhadap orang yang berjasa atau terhadap pemerintah. Tapi, syair yang dinyanyikan bisa juga ejekan terhadap pemerintah atau orang yang berkuasa.
Kali ini, tentu saja, ia menembangkan perihal piknik kami yang mengasyikkan. Dalam bahasa Somalia, diuraikannya kalimat-kalimat ritmis, beruntun, dan sangat cepat. Nyanyian tersebut menjadi lebih mirip sumpah serapah di telingaku. Di Somalia, istilahnya buranbur atau menyanyikan sajak.
Karena sudah terbiasa dengan penampilannya, kamera video tidak terlalu kupusatkan pada dirinya. Pantai berpasir yang indah, hidangan dari berbagai budaya yang terhampar lezat, tatapan anak-anak kecil yang melongo heran, semuanya menyatu indah dilatari lantunan si gadis Somalia. Tiba-tiba, pada nada terakhir dan tertinggi, dia berhenti bernyanyi, membuat gerakan cepat di atas pasir, dan bersalto ria atau lebih tepatnya berjumpalit ria membelah kerumunan.
Gaun panjang dan jilbabnya yang berwarna biru terang berkibar-kibar mengikuti tiupan angin dan liukan badannya. Begitu kakinya menjejaki pasir, rekan-rekannya satu benua bertepuk tangan riuh rendah, menepuk-nepuk mulut seraya bersuara yang kedengarannya seperti, “Lululululululuuu!” atau “Wuwuwuwuwuwuuu!”, layaknya suku Indian. Selang beberapa menit kemudian, tepukan dan hentakan musik melemah. Pertunjukkan telah berakhir. Si gadis Somalia memperoleh sanjungan yang luar biasa karena show–nya yang di luar dugaan. Saking terperanjatnya, tidak ada satu pun dari kami yang sempat merekam detik-detik ‘bersejarah’ tersebut.
Belakangan baru kutahu kalau atraksi semacam itu cuma bisa ditampilkan oleh orang-orang tertentu saja. Kebetulan kenalan kami ini memang berbakat sekali. Dan ternyata seruan ‘Indian’ tersebut -- masharat atauarabdhab -- berbeda-beda tergantung daerah asalnya.
Perempuan Sudan dan Somalia meletakkan telapak tangannya di bawah hidung di atas mulut, kemudian bersuara dengan cara memainkan lidahnya dalam gerakan sangat cepat sehingga terbentuk bunyi semacam, “Lulululululuuuu!” Sementara perempuan Kenya memekik sambil menepuk-nepuk cepat kedua bibirnya dengan telapak tangan yang hasilnya berupa, “Wuwuwuwuwuwuuu!”
Begitulah menurut keterangan rekan Somaliaku. Aku sendiri tidak mau ambil pusing dengan perbedaan tersebut. Namun aku sangat mengkhawatirkan kesuksesan piknik multibudaya kami tahun ini. Gadis Somalia yang berbakat itu mengalami radang di seputar kerongkongannya. Penyebabnya kurang jelas, namun pasti bukan karena kebanyakan ‘sumpah serapah’. Hmmm…Paling tidak, begitulah harapanku.
ILUSTRASI FOTO-FOTO DOK REDAKSI 
MODERATOR - Penggagas KoKi : ZEVERINA
Pembaca "KOLOM KITA" (KoKi) entah di Bontang, Inggris, Bali, Belanda, New Jersey, Kuwait, Australia, atau di Kediri, silakan berbagi peristiwa seputar kehidupan sehari-hari. Kirimkan artikel dan foto melalui form "Kirim Artikel", jika mengalami kesulitan kirimkan melalui email: temennyazev@gmail.com ;kokizeverina@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar